Tantangan zaman modern
terhadap agama terletak dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal
hakikat melalui percobaan dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan
dengan alam di luar indera, yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama
didasarkan pada analogi dan induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode
ini agama batal, sebab agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu
modern juga batal, sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak
mengingkari wujud sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu
metode ini juga tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan
sesuatu yang telah diamati secara empiris. Hal ini desebut dengan “analogi
ilmiah” dan dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang
sebagai kenyataan ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara
langsung.. demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena
dia analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang
sama.
Percobaan dan pengamatan
bukanlah metode sains yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada
persoalan yang dapat diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori
yang disimpulkan dari pemgamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk
mengobservasi. Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa
kebanyakan pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interprestasi terhadap
pengamatan dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu
banyak sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara
langsung. Sarjana manapun tidak mapu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada
kata-kata seperti; “Gaya”,”energi”, “alam”, dan “hukum alam”. Padahal tidak ada
seorangpun sarjana yang mengenal apa itu; “Gaya, energi, alam, dan hukum alam”.
Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan terhadap kata-kata tersebut
secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang tidak mampu memberikan
penjelasan tentang sifat Tuhan . keduanya percaya sesuai dengan bidangnya pada
sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak
berarti bahwa agama adalah “iman kepada yang ghaib”dan ilmu pengetahuan adalah
percaya kepada “pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan
kedua-duanya berlandaska pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang
lingkup agama yang sebenarnya adalah ruang lingkkup “penentuan hakikat”
terakhir dan asli, sedangkan ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pembahasan
ciri-ciri luar saja. Kalau ilmu pengetahuan memasuki bidang penentuan hakikat,
yang sebenarnya adalah bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh
jalan iman kepada yang ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih
menganggap bahwa hipotesis yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya
dari hakikat yang diamati. Mereka tidak dapat mengatakan; kenyataan yang
diamati adalah satu-satunya “ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan
bukan ilmu, sebab tidak dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman
kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat
diamati. Hal ini tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan
interprestasi yang terbaik terhadap
kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.